Assalamu'alaikum..., selamat datang di Blok Kajian Fiqih Syafi'i. Semoga sahabat memperoleh manfaat dari blog ini. Mohon klik LIKE pada Facebook kami dan pada postingan-postingan kami ya, supaya ramai. Jika berminat dengan buku-buku Aswaja, silakan klik pada link Toko Buku Aswaja. Semoga limpahan barakah Allah selalu tercurah pada kita semua. Amiin...

Minggu, 02 Agustus 2015

Hindari Hal-Hal Berikut Saat Buang Air

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk kita lanjutkan kajian fiqih kita. Pada postingan sebelumnya sudah saya sampaikan hal-hal yang berkaitan dengan istinjak. Tentu para sahabat sudah bisa memahaminya dan kalau begitu jangan lupa untuk menerapkannya dalam keseharian kita. Jika di antara sahabat ada yang belum membacanya, silakan klik di sini.

Untuk kajian saat ini kita akan membahas tentang hal-hal yang perlu dihindari saat kita buang air. Sebagian orang memandang hal ini sepele, namun sebagai seorang Muslim yang baik tentu kita harus memperhatikannya, karena Rasulullah Saw pun memberikan petunjuknya seputar hal ini.

Sahabat sekalian...

Kalau kita buang air, maka hendaklah menghindari hal-hal berikut ini:

Pertama, hindari menghadap atau membelakangi kiblat.

Syariat Islam mengajarkan kepada kita agar tidak menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air. Hal ini sesuai dengan hadits yang bersumber dari Abi Ayyub al Anshari ra, dari Rasulullah Saw yang bersabda: "Apabila kalian datang ke WC, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya; namun menghadaplah ke timur atau ke barat." (HR Bukhari dan Muslim)

Namun perlu sahabat ketahui, larangan itu hanya berlaku bila buang air itu dilakukan di tempat-tempat terbuka. Jika buang air itu dilakukan di tempat-tempat yang secara khusus memang dibangun sebagai WC/Toilet, maka larangan yang demikian itu tidaklah berlaku. Hal ini berdasarkan pada riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Umar ra, di mana ia berkata: "Aku memanjat di atas rumah Hafshah untuk suatu keperluan. Dan (di sana) aku melihat Rasulullah Saw sedang buang air dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam (Siria)." (HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

Jika sahabat perhatikan kedua hadits di atas, sepertinya bertolak belakang. Hadits pertama melarang membelakangi kiblat saat buang air, namun di hadits berikutnya diberitakan bahwa Rasulullah Saw buang air dengan membelakangi kiblat. 

Sebenarnya kedua hadits tersebut tidaklah saling bertentangan. Para ulama menjelaskan bahwa hadits pertama hukumnya diperuntukkan bagi tempat-tempat yang tidak secara khusus dibuat sebagai WC/Toilet; sedangkan hadits kedua hukumnya diperuntukkan bagi tempat-tempat yang secara khusus dibuat sebagai tempat buang air. Demikianlah para ulama mengompromikan kedua hadits tersebut.

Kesimpulannya, jika sahabat buang air di WC/Toilet, maka menghadap ke arah manapun tidaklah masalah. Namun jika hal itu sahabat lakukan bukan di tempat-tempat yang secara khusus sebagai WC/Toilet, maka hendaklah tidak menghadap kiblat atau membelakanginya.

 Kedua, hindari buang air di air yang tidak mengalir.

Tahukan maksudnya? Jadi, kita dilarang untuk buang air pada tempat yang airnya tidak mengalir. Hal ini berlandaskan pada hadits yang bersumber dari Jabir ra, di mana ia mengatakan: "bahwa Rasulullah Saw melarang kencing pada air yang diam (tidak mengalir)." (HR Muslim dan lain-lain) 

Coba sahabat perhatikan. Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa yang dilarang adalah kencing (buang air kecil) pada air yang diam. Namun para ulama menjelaskan bahwa larangan itu juga berlaku untuk berak (buang air besar). Pemahamannya, jika kencing saja dilarang, tentunya berak akan lebih dilarang lagi. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa larangan itu hanya sampai tingkat makruh. Namun Imam Nawawi berpendapat lain. Menurut beliau larangan itu hingga pada tingkat haram. Silakan rujuk Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, III/187.

Ketiga, hindari buang air di bawah pohon yang berbuah, di jalan yang biasa dilalui orang, dan di tempat-tempat yang sering dipakai untuk berteduh.

Secara umum kita dilarang untuk buang air di tempat-tempat tersebut karena akan mengganggu orang-orang yang berada di situ. Kalau ada pohon yang berbuah, tentulah banyak orang yang datang padanya untuk mengambil buahnya. Apa jadinya kalau saat akan mengambil buahnya, ee... banyak najisnya. Tentu saja suasana menjadi tidak nyaman.

Begitu juga dengan jalan yang biasa dilalaui orang dan tempat-tempat yang biasa digunakan untuk berteduh. Kita dilarang buang air di situ karena tempat itu adalah fasilitas umum yang digunakan oleh banyak orang. Tidak layak bagi seorang Muslim melakukan sesuatu yang menyebabkan banyak orang terganggu olehnya. 

Di sisi lain, buang air di tempat-tempat tersebut akan mendatangkan laknat bagi pelakunya. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Takutlah kalian pada dua hal yang mendatangkan laknat." Para sahabat bertanya: "Apakah dua hal yang mendatangkan laknat itu ya Rasulallah?" Beliau bersabda: "Adalah orang yang buang air di jalan yang (biasa) dilalui orang, atau di tempat-tempat (yang biasa dipakai untuk) berteduh." (HR Muslim dan lain-lain)  

Keempat, hindari buang air di dalam lobang.

Jika sahabat jeli memperhatikan lobang-lobang di sekitar kita, pastilah akan ditemukan bahwa di lobang itu ada makhluk Allah yang menempati. Mungkin semut, kecoa, kalajengking, dan sebagainya. Atau, boleh jadi juga dihuni oleh makhluk-makhluk Allah yang kita tidak bisa melihatnya dengan mata. Nah, kalau kita buang air di dalam lobang tentulah makhluk yang menempati lobang itu akan terganggu, atau bahkan mati akibat perbuatan kita. Kalau sudah demikian, tentu kita termasuk golongan orang yang berbuat kezaliman. Itulah salah satu hikmah (di antara hikmah-hikmah lainnya) mengapa Rasulullah Saw melarang kita buang air di dalam lobang.

Abdullah bin Sirjis ra berkata:   "Rasulullah Saw melarang kencing di lobang." (HR Abu Dawud dan lain-lain)

Kelima, hindari bercakap-cakap saat buang air.

Apakah sahabat pernah melakukan hal itu? Buang air sambil bercakap-cakap? Kalau pernah, maka setelah membaca tulisan ini hendaklah hal itu dihindari. Jangan ulangi lagi karena perilaku yang demikian tidak sesuai dengan yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw.

Abdullah bin Umar ra bercerita: "Ada seorang laki-laki lewat saat Rasulullah Saw sedang buang air kecil. Laki-laki itu kemudian mengucapkan salam kepada beliau, tapi beliau tidak menjawab salamnya." (HR Muslim dan lain-lain)

Dalam riwayat lain, yakni yang bersumber dari Abu Said ra, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Janganlah dua orang keluar menuju WC dengan membuka auratnya serta bercakap-cakap. Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla murkan terhadap sikap yang demikian itu." (HR Abu Dawud dan lain-lain) 

Keenam, hindari buang air dengan menghadap matahari dan bulan; dan jangan pula membelakanginya.

Untuk poin ini, menurut Imam Nawawi dalam al Majmu' (1/103) hadits yang menjadi landasannya adalah dhaif (lemah), bahkan batil. Menurut beliau, pendapat yang shahih dan masyhur adalah makruh menghadapnya, bukan membelakanginya. Al Khatib dala al Iqna' (1/146) berkata: "Inilah pendapat yang mu'tamad (yang bisa dipegang)."

 Sahabat sekalian, demikianlah kajian singkat kita terkait hal-hal yang hendaknya dihindari saat buang air. Semoga Allah memberikan kepada kita kemudahan untuk memahaminya dan memberikan kekuatan untuk melaksanakannya. 

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
 
 
 
 

Jumat, 05 Desember 2014

Terjemah Kitab Fathul Mu'in

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Sore ini saya ingin berbagi kembali dengan sahabat sebuah kitab fiqih yang sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi'i, yakni Fathul Mu'in.

Sebagaimana yang telah kita maklumi bersama bahwa kitab Fathul Mu'in ini di kalangan pesantren adalah sebuah kitab hukum Islam yang dianggap sukar dan sulit dipahami. Sehingga kitab tersebut menjadi barometer kepandaian para santri dalam membaca dan memahami kitab-kitab fiqih lainnya yang berbahasa Arab.

Nah, di sini saya akan membagikan kepada sahabat link-link yang darinya sahabat bisa mendownload secara gratis terjemah kitab Fathul Mu'in lengkap sebanyak 3 jilid. Berikut linknya dan semoga bermanfaat.

Fathul Mu'in Jilid 1a download di sini
Fathul Mu'in Jilid 1b download di sini
Fathul Mu'in Jilid 1c download di sini

Fathul Mu'in Jilid 2a download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2b download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2c download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2d download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2e download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2f  download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2g download di sini

Fathul Mu'in Jilid 3a download di sini
Fathul Mu'in Jilid 3b download di sini

Kalau sahabat ingin Fathul Mu'in versi Arabic, silakan download di sini

Demikian sahabat, link terjemah kitab Fathul Mu'in lengkap dari jilid 1 hingga 3, dan juga link untuk yang versi Arabic. Semoga kita semua bisa mengambil manfaat darinya. Demikianlah pula penulisnya, penerjemahnya, yang melakukan scan, dan membuat link untuk download, semoga mendapatkan berkah dari Allah Swt.

Wassalam

Terjemah Kitab Al Umm

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Kali ini saya akan berbagi kitab Al Umm dengan para sahabat. Tahukah sahabat kitab Al Umm?
Kitab Al Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para penganut madzhab Syafi'i di Indonesia yang merupakan madzhab terbesar. Kitab ini mencakup pembahasan yang luas dalam bidang fiqih dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu. Kitab ini juga menjadi rujukan bagi kalangan ahli fiqih madzhab Syafi'i hingga saat ini dalam menyusun karya-karya mereka.

Kitab Al Umm (terjemahan) yang ada adalah 11 jilid. Di sini selengkap mungkin akan saya sediakan. Namun, mohon maaf untuk jilid 3 dan 10 belum ditemukan. (Hilang entah ke mana linknya, hehehe). Tapi mudah-mudahan yang ada ini akan memberi manfaat bagi para sahabat.

Bagi sahabat yang menginginkannya, silakan unduh pada link-link yang saya sediakan berikut. Semoga bermanfaat.

Al Umm Jilid 1 download di sini
Al Umm Jilid 2 download di sini
Al Umm Jilid 3 download (maaf, belum ketemu link-nya. Kalau sahabat tahu tolog dishare di sini ya.heheh..)
Al Umm Jilid 4 download di sini
Al Umm Jilid 5 download di sini
Al Umm Jilid 6 download di sini
Al Umm Jilid 7 download di sini
Al Umm Jilid 8 download di sini
Al Umm Jilid 9 download di sini
Al Umm Jilid 10 download (maaf, belum ketemu link-nya. Kalau sahabat tahu tolog dishare di sini ya.heheh..)
Al Umm Jilid 11 download di sini 

Wassalam

Kamis, 04 Desember 2014

Album Shalawat Hadrah: Al Asyiqien Group

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk, dengerin shalawat. Berikut adalah album shalawat yang bisa sahabat download.

Album ini merupakan Shalawat versi Hadrah Banjari terbaru di tahun 2014 ini. Insya Allah bagus. Bisa dijadikan referensi variasi pukulan dan variasi vokal. Kebanyakan diambil dari irama festival hadroh al banjari Jawa Timur, Indonesia.

Kami mencoba menelaah dari album ini sebagai berikut :

1. Hadrah Banjari
2. Judul lagu favorite "Dhoharoddin", namun dalam tajuk album ini adalah lebih menampilkan dengan lagu Ya Muhaimin, Habibi Ya Muhammad, karena lebih asyik dan indah lantunannya.
3. Munsyid lelaki semua.
4. Pukulan Hadrah Banjari Bas Kurang.
5. Suluk Oke, Variasi Banjari Bagus

Di bawah ini adalah link downloadnya:

Semoga bermanfaat dan menambah cinta kita kepada Rasulullah Saw.
Jangan lupa beli CD aslinya ya. Semoga berkah.

Sumber: Gema Sholawat

Wassalam

Istinjak

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk kita lanjutkan lagi kajian fiqih kita. Saat ini saya akan mengajak sahabat untuk memperbincangkan persoalan instinjak. Ngomong-ngomong sahabat dah tahu belum apa yang dimaksud dengan istinjak?

Secara sederhana, yang dimaksud dengan istinjak adalah bersuci setelah buang air (kecil ataupun besar). Nah, perlu diketahui nih, bahwa istinjak atau bersuci setelah buang air itu hukumnya wajib. Ingat ya, waaajiibbb!!! Mungkin kalau buang air besar setiap orang akan melakukan istinjak. Tapi, masih banyak hingga saat ini umat Islam yang lalai beristinjak setelah buang air kecil. Padahal istinjak hukumnya wajib setelah buang air.

Mengapa wajib? Karena orang yang baru buang air tentulah mengeluarkan najis. Kalau setelah buang air ia tidak beristinjak, maka najis masih menempel pada bagian tubuhnya. Jika dalam keadaan seperti itu ia menunaikan shalat, maka shalatnya tidak sah. Orang yang shalatnya tidak sah, sama seperti orang tidak menunaikan shalat. Ia berdosa.

Dari segi kesehatan pun tentu sangat tidak baik bila setelah buang air tidak istinjak. Bisa jadi berbagai macam penyakit akan lahir dari keadaan kotor yang demikian itu. Itulah sebabnya dalam syariat Islam, beristinjak itu hukumya wajib.

Para ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa lebih utamanya melakukan istinjak itu adalah dengan beberapa buah batu, kemudian diikuti dengan air. Namun, mencukupkan hanya dengan air saja, atau dengan tiga buah batu yang bisa membersihkan tempat keluarnya najis adalah boleh. Akan tetapi, bila harus memilih satu di antara keduanya (batu atau air), maka yang lebih utama adalah dengan air.

Anas bin Malik ra berkata, "Adalah Rasulullah Saw masuk WC. Aku dan seorang temanku membawakan bejana air dan tombak kecil. Kemudian beliau beristinjak dengan air." (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Mas'ud ra berkata, "Nabi Saw (pernah) pergi ke WC, dan memerintahkan agar aku membawakan tiga buah batu." (HR Bukhari dan lain-lain)

Aisyah ra mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, "Apabila seseorang di antara kalian pergi ke WC, maka hendaklah ia membawa serta tiga buah batu untuk berinstinjak. Sesungguhnya tiga buah batu itu sudah mencukupi (untuk beristinjak)." (HR Abu Dawud dan lain-lain)

Sahabat, kalau kita perhatikan hadits-hadits di atas dinyatakan beristinjak dengan batu. Apakah harus batu dan tidak boleh yang lain?

Tentu tidak, sahabat. Selain batu juga boleh. Semakna dengan batu adalah segala macam benda padat yang kering dan suci serta bisa dipergunakan untuk menghilangkan najis, seperti kertas, batu bata, dan lain-lain. 

Demikianlah keterangan singkat berkaitan dengan persoalan istinjak. Semoga sahabat bisa mengambil manfaat darinya dan bisa kita amalkan dalam kehidupan kita.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Berhati-hatilah

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Diriwayatkan bahwa dalam khutbahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah berkata:

"Demi Allah, aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Aku dalam posisi dan keadaan terpaksa. Aku ingin di antara kalian ada yang mampu menggantikan posisiku ini. Apakah kalian mengira aku akan melaksanakan sunnah Rasulullah secara penuh? Tidak. Aku tidak mampu melaksanakan semuanya. Sesungguhnya, Rasulullah Saw dijaga dengan wahyu dan malaikat bersama beliau. Sementara setan bersamaku, yang selalu menggodaku. Jika aku marah, maka menjauhlah dariku, agar aku tidak menzalimi rambut dan kulit kalian. Perhatikanlah ucapanku ini." (Kanzul 'Ummal, karya Alauddin Ali Muttaqi al-Hindi, no. 14118; Tahdzib Hilyatul Auliya' wa Thabaqatul Ashfiya', karya Shalih Ahmad Syamy, h. 60)

Sahabat...

Ini adalah pengakuan yang jujur dari salah seorang sahabat utama Nabi Saw. Di sini Abu Bakar ash-Shiddiq ra mengakui bahwa posisi yang disandangnya sebagai seorang khalifah bukanlah karena ia telah menjadi manusia terbaik di antara manusia yang ada pada saat itu. Jabatan khalifah adalah sebuah amanah yang diberikan kepadanya. Ia tidak bisa menolak saat amanah itu diembankan kepadanya.

Pengakuan lainnya adalah meskipun ia sangat dekat dengan Nabi Saw, namun hal itu tidak berarti memberikan kemampuan baginya untuk mengamalkan seluruh sunnah yang berasal dari Nabi Saw. Abu Bakar ra menyadari kelemahannya sebagai makhluk yang sangat berbeda dengan Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw selalu dijaga Allah dengan wahyu dan malaikat-Nya, maka Abu Bakar ra selalu berhadapan dengan setan yang tak kenal lelah berusaha menggodanya.

Nila luar  biasa yang dikandung oleh nasihat ini adalah kejujuran untuk mengakui kekurangan diri dan tidak merasa menjadi manusia yang paling utama hanya karena jabatan yang disandang.

Melalui nasihat ini Abu Bakar ra mengajak kita semua untuk menyadari dan mengakui bahwa sesungguhnya kita tidaklah lebih istimewa dan lebih mulia dibandingkan orang lain. Sikap terbaik yang harus kita pilih adalah senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta'ala dan menyemangati diri untuk selalu mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Saw tanpa harus merasa telah menjadi manusia sempurna dan istimewa di antara makhluk ciptaan Allah di dunia ini.

Semoga bermanfaat. Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.  

Selasa, 02 Desember 2014

Bahaya Judi

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Semoga limpahan berkah Allah tetap tercurah pada kita. Pagi ini saya ingin mengajak sahabat semua untuk merenungkan hikmah di balik diharamkannya judi oleh Allah Swt. Tentu saja saat Allah mengharamkan sesuatu, maka ada kebaikan yang akan kita peroleh tatkala kita menjauhinya; dan sebaliknya, akan ada bahaya (mudhorot) yang akan menimpa kita jika kita melakukannya.


Allah Swt berfirman:

"Sesungguhnya (minuman) khamar (arak/memabukkan), berjudi (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al Maidah: 90).

Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi.

Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai 'suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu'. (Lihat: Rafiq al-Mishri, Al Maysir wal Qimar, hlm 27-32). Selain judi itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan.

Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, moral, sampai budaya. Bahkan, pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka. Perhatikan firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang timbul dari judi:

''Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).'' (QS. al Maidah: 91). 

Karena judi merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk mengaburkan makna judi.

Sebab, salah satu tugas setan terdiri dari jin dan manusia adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan atau nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampak seakan-akan halal. 

Allah SWT berfirman, ''Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.'' (QS. al An'am: 112).

Juga perhatikan firman-Nya, ''Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan.'' (QS. al An'am: 43). 

Rasulullah SAW juga telah mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, ''Surga itu dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu yang menyenangkan).'' (HR Bukhari-Muslim).

Menyadari esensi dan bahaya akibat judi itu, maka kita harus selalu waspada dengan berbagai kegiatan berkedok undian, padahal substansinya sebenarnya tetap saja judi. Akhirnya, hendaknya kita selalu mengingat bahwa setiap tetes darah, setiap daging dan tulang yang tumbuh dalam tubuh manusia, juga setiap pertumbuhan dan kemajuan bangsa ini di bidang apa pun, yang diperoleh dari judi dan pendapatan haram lainnya sesungguhnya hanya akan mendatangkan celaka. Bangsa ini tidak segera dapat keluar dari krisis berkepanjangan boleh jadi karena judi masih merajalela di negeri ini, yang mengakibatkan segala usaha dan upaya tidak dapat berkah dan ridla Ilahi. Wallahu a'lam.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Talqin Mayit

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz, di tempat saya sejak dahulu selalu diadakan talqin mayit beberapa saat setelah mayit dimakamkan. Hanya saja akhir-akhir ini ada seseorang yang mengatakan bahwa talqin mayit setelah dimakamkan itu bid'ah dan tidak memberi manfaat apa pun terhadap mayit. Yang dijadikan dalil olehnya adalah firman Allah Swt dalam surat Fathir ayat 22:

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍِ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ
 "...Dan kamu (Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang berada di dalam kubur dapat mendengar."

Pertanyaan saya, benarkah talqin mayit itu bid'ah dan benarkah talqin itu tidak bermanfaat bagi mayit berdasarkan firman Allah di atas? (Junaidi, Palembang)

Jawaban:

Wa'alaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh

Semoga limpahan nikmat, rahmat dan berkah Allah senantiasa tercurah untuk Anda.

Sahabat, menurut para ulama, talqin itu terbagi dua. Pertama, talqin yang dilakukan kepada seseorang yang sedang mengalami naza’ atau sakarat al-mawt. Kedua, talqin yang dilaksanakan pada saat jenazah baru saja selesai dimakamkan. Kedua talqin ini memiliki landasan syar’i di dalam agama Islam.

Untuk talqin jenis pertama tidak perlu diuraikan di sini, karena tidak ada seorang pun dari kalangan umat ini yang mengatakannya sebagai bid’ah. Namun talqin jenis kedualah yang akhir-akhir ini begitu gencar dikatakan sebagai perbuatan bid’ah dengan dalil sebagaimana yang sahabat tuliskan dalam pertanyaan di atas.

Sesungguhnya talqin yang dilaksanakan ketika jenazah baru saja dimakamkan bukanlah perbuatan bid’ah, melainkan sunnah. Penjelasan tentang kesunnahan talqin ini telah disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar:

وَاَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ وَكَثِيْرٌ مِنْ اَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فِيْ تَعْلِيْقِهِ وَصَاحِبُهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْمُتَوَلِّي فِي كِتَابِهِ التَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ اْلإِمَامُ أَبُو الْفَتْحِ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الْمَقْدِسِيُّ وَاْلإِمَامُ أَبُو الْقَاسِمِ الرَّفِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ عَنِ اْلأَصْحَابِ

“Membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama Syafi’iyah. Ulama yang mengatakan kesunnahan itu di antaranya adalah Qadhi Husain dalam Kitab Ta’liq-nya, sahabat beliau yang bernama Abu Said al-Mutawalli dalam kitabnya Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari para sahabat.” (Al-Adzkar al-Nawawiyyah, 206).  

Ketika para ulama memfatwakan sunnah menalqin mayit sesaat setelah dikuburkan tentu saja mereka memiliki dalil yang menjadi landasannya. Hadits yang bersumber dari Abu Umamah ra berikut inilah yang menjadi landasannya. Silakan Anda simak dan semoga Allah memberikan kemudahan bagi Anda untuk memahaminya.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ، فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُولُ: اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلَى  أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَا فُلاَنُ بْنُ حَوَّاءَ

“Dari Abu Umamah ra, ia berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulan”. Orang yang berada dalam kubur itu pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulan”, ketika itu juga mayit bangkit dan duduk di kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulan”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepadamu”. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini). (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imammu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah ra berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah SAW menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada Ibu Hawa, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR Thabrani).
 
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi’iyah, sebagian besar ulama Hanabilah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa  menalqini mayit adalah mustahab (sunnah).

Hadits ini memang termasuk hadist dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadlail al- a’mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shahih dan hadits hasan lidzatih), dan juga tidak termasuk hadits yang matruk (ditinggalkan). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.

Tentang hal ini Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani berkata:

وَالْحَدِيْثُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ خُصُوْصًا وَقَدْ انْدَرَجَ تَحْتَ أَصْلٍ كُلِّيٍّ وَهُوَ نَفْعُ الْمُؤْمِنِ أَخَاهُ وَتَذْكِيْرُهُ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Sekalipun hadits (tentang talqin) tersebut merupakan hadits dhaif, namun dapat diamalkan dalam rangka fadhail al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits tersebut masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang Mukmin untuk membantu saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena peringatan itu akan dapat bermanfaat bagi orang Mukmin.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 111).

Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shahih seperti :


عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ

“Dari Utsman bin Affan, ia berkata, “Nabi SAW apabila telah selesai dari menguburkan mayit beliau berkata, “Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.” (HR Abu Dawud dan di-shahih-kan oleh Imam al-Hakim).

Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:


وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُوْنِيْ ، فَأَقِيْمُوْا حَوْلَ قَبرِيْ قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُوْرٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا، حَتىَّ أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ ، وَأَعْلَمُ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّيْ

Dari Amr bin al-Ash ra, katanya, “Jika kalian telah memakamkan aku, maka berdirilah di sekitar kuburku sekedar selama waktu menyembelih seekor unta lalu dibagi-bagikan dagingnya, sehingga aku dapat merasa tenang (puas) bertemu dengan kalian dan aku dapat memikirkan apa-apa yang akan aku jawab kepada utusan-utusan Tuhanku. (HR Muslim).

Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan penalqin dan merasa terhibur dengannya.

Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 55).

Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan penalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut. Jadi ucapan penalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang Mukmin. 

Lalu, bagaimana kaitannya dengan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa orang yang di dalam kubur tidak bisa mendengar, seperti pada ayat berikut:

 وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“…Dan kamu (Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir [35]: 22). 

Ayat ini memang sering disalahtafsirkan oleh kelompok anti talqin dan mereka gunakan sebagai dalil untuk memfatwakan tidak berguna talqin yang disampaikan pada orang yang telah dikubur karena mereka tidak dapat mendengar. Namun pemahaman mereka itu tidak sejalan dengan tafsiran para mufassir. Orang yang berada di dalam kubur (man fil al-qubuur) yang disebutkan dalam ayat tersebut sesungguhnya adalah orang kafir. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Tafsir al-Khazin:


يَعْنِى الْكُفَّارَ شَبَّهَهُمْ بِاْلأَمْوَاتِ فِى الْقُبُوْرِ لِأَنَّهُمْ لاَ يُجِيْبُوْنَ إِذَا دُعُوْا

“Maksudnya adalah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah.” (Tafsir al-Khazin, Juz V, halaman 347).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang Mukmin di dalam kuburnya dapat mendengar suara orang yang menalqinnya atas izin dan kekuasaan Allah SWT. Kenyataan ini semakin kuat tatkala kita melihat kebiasaan Nabi SAW yang selalu mengucapkan salam tatkala berziarah kubur atau melewati kompleks pemakaman. Tentu saja Rasulullah SAW mengucapkan salam karena ahli kubur dapat mendengar ucapan salam itu. Jika tidak, tentulah perbuatan beliau itu akan sia-sia, dan adalah hal yang mustahil Rasulullah SAW melakukan amalan yang sia-sia. Kesimpulannya, pelaksanaan talqin adalah suatu amalan yang sejalan dengan syariat Islam, bahkan ia sunnah untuk dilakukan, baik saat seseorang sedang naza’ maupun pada saat mayit baru saja dimakamkan. Vonis bid’ah terhadap talqin tidaklah benar. Yang benar, talqin adalah sunnah, dan kita telah simak bersama dalil-dalilnya.

Demikianlah sahabat jawaban yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
Wassalam

Rabu, 26 November 2014

Antara Amanah dan Khianat

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Kata amanah seakar dengan kata iman. Ini berarti sikap amanah mempunyai korelasi erat dengan iman seseorang. Orang beriman pasti memiliki sifat amanah. Orang yang tidak amanah berarti tidak ada iman dalam dirinya, meskipun lidahnya menyatakan beriman. 

Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (QS 8: 27).

Sikap amanah harus diwujudkan dalam semua aspek kehidupan. Orang yang memegang amanah dituntut menjalankan dan menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. 

Firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ....'' (QS 4: 58).

Memiliki sikap amanah penting dalam kegiatan muamalah. Sikap amanah yang dimiliki seseorang dapat dijadikan tolok ukur mengangkatnya menjalankan tugas tertentu. Sebaliknya, suatu urusan yang diserahkan kepada orang yang tidak amanah, maka urusan itu akan berantakan. Sebab, orang yang tidak amanah berarti ia tidak profesional menjalankan tugasnya.

Rasulullah SAW menjelaskan, ''Apabila amanah telah disia-siakan, tunggulah saat kehancurannya.'' Seorang sahabat bertanya, ''Ya Rasulullah, bagaimana maksud menyia-nyiakan amanah itu?'' Nabi menjawab, ''Yaitu menyerahkan suatu urusan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Untuk itu tunggulah saat kehancuran urusan tersebut.'' (HR Bukhari).

Khianat merupakan lawan dari amanah. Sikap ini melekat pada orang yang kurang beriman. Sikap khianat merupakan ciri orang munafik yang diekspresikan dengan menyalahi janji dan apa yang telah dipercayakan kepadanya. Orang demikian digelari sebagai makhluk terburuk yang sangat dibenci Allah.

Allah berfirman, ''Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).'' (QS 8: 55-56).

Sikap khianat amat berbahaya bila berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat. Sikap ini merugikan orang yang dikhianati dan pelakunya.

Apabila sikap khianat melekat pada seseorang, berarti saat itu telah lepas darinya sikap amanah. Sebab, antara amanah dan khianat tidak mungkin berkumpul pada saat bersamaan. 

Nabi bersabda, ''Tidak mungkin berkumpul iman dan kafir dalam hati seseorang, dan tidak mungkin pula berkumpul sifat jujur dan dusta padanya sekaligus, sebagaimana tidak mungkin berkumpul sifat khianat dan amanah padanya secara bersamaan.'' (HR Ahmad).

Sikap amanah harus dimiliki setiap individu, terutama para pemimpin. Dengan sikap amanah diharapkan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dapat dijalankan dengan baik dan membawa kejayaan bangsa. Sebaliknya, apabila sikap khianat menjadi budaya, maka bangsa ini akan semakin terpuruk.Wallahu a'lam

Wassalam